priming

A.    Tujuan
Mempelajari dan melakukan percobaan berbagai perlakuan priming pada benih.
B.     Tinjauan Pustaka
Prinsip priming adalah mengaktifkan sumber daya yang dimiliki benih (internal) ditambah dengan sumber daya dari luar (eksternal) untuk memaksimalkan pertumbuhan. Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju kebutuhan air benih selama perkecambahan serta memacu laju metabolisme. Keadaan ini memungkinkan fase aktivitas berlangsung lama sehingga akan memberikan perbaikan fisiologi, antara lain benih akan berkecambah lebih cepat dan serempak, serta dapat meningkatkan persentase perkecambahannya (Bailly, 1998). Priming membuat perkecambahan lebih dari sekedar imbibisi, yakni sedekat mungkin pada fase ketiga yakni fase pemanjangan akar pada perkecambahan. Selama priming, keragaman dalam tingkat penyerapan awal dapat diatasi.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan priming, antara lain: jenis benih baik umur maupun spesiesnya (Heydecker, 1975), jenis osmotikum, temperatur imbibisi, kadar atau potensial osmotiknya dan lamanya priming (Heydecker & Gibbins, 1978), serta adanya O2 (Liming et al., 1992).
Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi benih dalam penyimpanan. Kadar air benih yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya, kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat menyebabkan penurunan laju perkecambahan benih, benih menjadi keras, sehingga pada waktu dikecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat menyebabkan kematian embrio (Kuswanto, 1996). Untuk mengatasi permasalahan kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun oleh faktor kesalahan dalam penanganan benih perlu dilakukan suatu cara/metode, salah satunya adalah dengan metode priming (Basu dan Rudrapal, 1982).
Benih bermutu fisiologis unggul adalah benih yang memiliki viabilitas potensial dan vigor yang tinggi, berkadar air yang tepat untuk mempertahankan daya simpan serta tidak terkontaminasi sumber hama dan penyakit, baik selama disimpan maupun sesudah ditanam (Balai Teknologi Perbenihan, 1998). Sedangkan, rendahnya viabilitas benih dapat diterangkan sebagai turunnya kualitas atau viabilitas benih. Kemunduran benih dapat disebabkan oleh kehabisan cadangan makanan, meningkatnya aktivitas enzim, meningkatnya asam lemak, permeabilitas membran, dan kerusakan-kerusakan membran kulit benih akibat dari penyimpanan terlalu lama (Justine, 2002). Kemunduran benih atau turunnya mutu benih yang diakibatkan oleh kondisi penyimpanan dan kesalahan dalam penanganan benih, merupakan masalah yang cukup utama dalam pengembangan tanaman khususnya tanaman juwawut. Kemunduran benih merupakan proses mundurnya mutu fisiologis benih yang menimbulkan perubahan menyeluruh dalam benih baik secara fisik, fisiologis, maupun biokimia yang mengakibatkan menurunnya viabilitas benih (Rusmin, 2008).
Priming dapat dilakukan dengan larutan osmotikum (disebut osmotik-priming atau osmotik-kondisioning) atau dengan bahan padatan lembab (disebut matriks-priming atau matrikskondisioning).
Osmopriming/osmokondisioning dilakukan dengan menggunakan larutan polyetilenglikol (PEG). Osmopriming merupakan suatu cara untuk meningkatkan perkecambahan dalam spektrum yang luas pada beberapa spesies tanaman, termasuk selada, seledri, wortel (Khan, 1992), kedelai, kacang pea dan jagung (Knypl & Khan, 1981).
Matrik priming adalah perbaikan keadaan fisiologi dan biokimia pada benih selama penundaaan perkecambahan dengan menggunakan medium padatan (solid matric) yang berpotensial matrik rendah dan potensial osmotik dapat diabaikan (Khan,1992). Komponen potensial matrik dari carrier matric bergantung pada tekstur, struktur dan kadar air matrik tersebut. Persyaratan sifat media yang dapat digunakan untuk matrik priming adalah mempunyai potensial matrik tinggi dan potensial osmotik dapat diabaikan, daya larut dalam air rendah dan tetap utuh selama perlakuan, bahan inert – tidak beracun, kapasitas daya pegang air tinggi, kemampuan mengalirkan air tinggi, tetap kering dan tidak berserbuk, ukuran partikel, struktur dan daya serapnya seragam, luas permukaan besar, bulk value tinggi, bulk density rendah dan berkemampuan melekat pada permukaan benih (Khan et al., 1990).
Perbedaan matrik priming dibanding osmotik-priming adalah kapasitas memegang air tinggi, sistem hantarannya dapat diduga, kerapatan ruangnya besar, dan memiliki sifat mencampur dengan baik. Matrik priming dengan serbuk gergaji (rasio benih, serbuk gergaji dan air = 1,0:0,8:1,3) dan abu gosok (rasio benih, abu gosok dan air = 1,0:0,8:1,0) pada benih beberapa padi gogo dapat meningkatkan daya berkecambah, dan berat kering akar (Roektiningroem, 2001).
C.    Metode Praktikum
1.      Tempat dan Waktu Praktikum
Tempat        : Laboratorium Botani
Waktu         : Selasa, 25 Oktober 2011
2.      Alat dan Bahan
a.       Alat
1)      Petridish
2)      Gelas Ukur 10 ml
3)      Cawan porselin
4)      Timbangan analitik
5)      Oven
6)      Bak plastik (pengecambah)
7)      Saringan
b.      Bahan
1)      Biji padi
2)      Akuades
3)      Serbuk batu bata
4)      Kertas saring
D.    Langkah kerja
Menghitung berat 100 butir biji padi
Menghitung kadar air benih awal, dengan cara menimbang benih sebelum dan sesudah dioven (60o C; 3 hari).
Membuat campuran antara 150 butir benih, serbuk abu gosok, dan air dengan perbandingan 5:4:4, kemudian meletakannya dalam petridish.
Mengulangi perlakuan sebanyak 3 kali.
Menutup petridish dan menginkubasi selama 3 hari.
Menaruh benih pada saringan kemudian menyemprotkan air dan meniriskannya (pada hari ketiga).
Menghitung kadar air benih setelah priming dengan cara menimbang benih sebelum dan sesudah dioven (60o C; 3 hari).
Mengecambahkan 100 butir biji dalam bak plastik yang dialasi kertas saring
Mengulangi perlakuan sebanyak 3 kali
Menghitung benih yang berkecambah setiap hari selama 5 hari pengamatan
E.              Tabel hasil analisis dan Pembahasan
a.       Tabel hasil analisis
Tabel 1. Berat 50 butir benih padi (gram) pada perlakuan tanpa priming dan 100 g butir benih setelah priming
perlakuan
p. bio sub
Bio sub
Bio swa
1
2
3
1
2
3
1
2
3
priming
1,45
1,04
28,27
4,04
3,79
6,18
4,43
3,55
19,86
Tanpa priming
3,477
2,781
20,01
2,72
2,55
6,25
1,29
Ket                  : 1. Berat basah (g)
                          2. Berat kering (g)
                          3. kadar air (%)
Media tanam   : - P bio sub     →  Abu gosok
-    Bio swa       →  Batu bata
-    Bio sub       →  Aquades
Kadar air dihitung dengan rumus:
Kadar air =
Tabel 2. Jumlah benih yang berkecambah setelah diberi perlakuan priming
Hari
P bio sub
Bio swa
Bio sub
pengulangan
a
b
Pengulangan
a
b
pengulangan
a
B
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
4
5
35
30
30
30
30
34
50
15
20
38,3
25
28
38,3%
35%
28%
2%
78%
90%
25%
83%
95%
9%
91%
98%
13%
84%
94%
13%
84%
94%
10%
60%
60%
95%
30%
65%
31%
30%
30%
31%
30%
45%
Ket.                 :  Bio sub dan Bio swa data dalam bentuk presentase
   a. rerata benih yang berkecambah
   b. daya kecambah benih
           
Daya kecambah dihitung dengan rumus:
Daya kecambah (%) =  
Tabel 4. Kecepatan berkecambah benih padi
No.
Kecepatan berkecambah (benih/hari) pada perlakuan ke-
P bio sub*)
Bio swa**)
Bio sub**)
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
31,6
31,3
28.3
11,3
40,6
39,6
2
24
63,3
rerata
30,4
30,5
29,7
            Lama hari        : *)   3 hari
                                      **) 5 hari
Kecepatan berkecambah dihitung dengan rumus:
Kecepatan perkecambahan (benih/hari) =
Keterangan:
Ni : jumlah benih yang berkecambah pada waktu Ti
Ti: waktu pengamatan
b.      Pembahasan
            Perlakuan priming yang tepat akan mengendalikan laju kebutuhan air benih selama perkecambahan serta memacu laju metabolisme. Keadaan ini memungkinkan fase aktivitas berlangsung lama sehingga akan memberikan perbaikan fisiologi, antara lain benih akan berkecambah lebih cepat dan serempak, serta dapat meningkatkan persentase perkecambahannya. Prinsip priming adalah mengaktifkan sumber daya yang dimiliki benih (internal) ditambah dengan sumber daya dari luar (eksternal) untuk memaksimalkan pertumbuhan.
            Berdasarkan analisis tabel terlihat bahwa pada percobaan kelas P bio sub yaitu dengan media tanam abu gosok Berat basahnya 1,45 berat keringnya 1,04 kadar airnya 28,27, pada Bio sub berat basahnya 4,04 berat keringnya 3,79 kadar airnya 6,18 media tanamnya batu bata, pada bio swa berat basahnya 4,43 berat keringnya 3,55 kadar air 19,86 dengan media tanam air. Dari data yang terlihat dapat dibandingkan jika penggunaan media tanam abu gosok lebih banyak menyimpan kadar air dari pada dengan media batu bata dan aquades. Kadar air benih merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi benih dalam penyimpanan. Kadar air ini mempengaruhi pertumbuhan benih, karena ketika proses perkecambahan benih akan menyerap air. Kadar air benih yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya penurunan viabilitas benih, begitu juga sebaliknya, kadar air benih terlalu rendah 3%-5% dapat menyebabkan penurunan laju perkecambahan benih, benih menjadi keras, sehingga pada waktu dikecambahkan benih tidak dapat berimbibisi dan dapat menyebabkan kematian embrio. Dari data ini terlihat bahwa abu gosok merupakan media yang paling baik dibandingan dengan media tanam berupa batu bata dan aquades, abu gosok dapat menyimpan air yang lebih banyak karena partikel-partikel abu gosok lebih lembut, partikel-partikael pada batu bata lembut tetapi tidak dapat menyimpan air dengan baik. Kisaran kadar air pada media tanam abu gosok pada paraktikum yaitu 28,27 hal ini masih dalam ambang kisaran normal untuk pertumbuhan benih. Pada media tanam aquades kadar air lebih rendah, hal ini dikarenakan perlakuan yang berbeda yaitu diberi larutan Nacl. Hal ini mempengaruhi nilai osmotic larutan diluar benih sehngga lebih pekat, karena lebih pekat maka air yang berada didalam biji bergerak keluar.
            Pada proses perkecambahan pada tabel terlihat bahwa dengan penggunaan  media tanam berupa abu gosok menunjukan proses perkecambahan yang lebih cepat dibandingkan media tanam batu bata dan aquades. Pada media tanam batu bata terlihat bahwa rata-rata kecepatannya lebih tinggi dari pada media tanam abu gosok. Namun, hal ini merupakan data perhitungan dari 5 hari. Benih pada media tanam batu bata mulai tumbuh pada hari ketiga. Pada media tanam abu gosok proses perkecambahan dimulai pada hari pertama dan berakhir pada hari ketiga dengan kisaran rata-rata pertumbuhannya kurang lebih 30 benih/hari. Kisran kecepatannya yaitu 30,4 benih/hari. Hal ini menunjukan perkecambahan yang lebih cepat dibandingkan dengan medium air, pada medium air mulai berkecambah pada hari ketiga dan rata-rata kecepatannya per hari adalah 29,7 hal ini terjadi karena pada medium air dengan adanya penambahan NaCl menyebabkan proses imbibsi terhambat, kemungkinan pada hari 2-3 larutan sudah berada pada kondisi isotonic sehingga penyerapan air berlangsung dan proses berkecambahan dimulai. Ketika proses penyerapan air berlangsung maka biji tidak lagi dalam keadaan keras sehingga mempermudah dalam proses berkecambah.
F.           Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Priming dapat meningkatkan jumlah benih yang dikecambahkan (meningkatkan daya kecambah benih), menyeragamkan dan menyerempakkan perkecambahan.
Media abu gosok  memberikan hasil priming yang lebih bagus dibandingkan dengan media serbuk bata dan media larutan aqudes. Hal tersebut dapat dilihat dari kadar air biji setelah di-priming dan dapat dilihat pula dari daya perkecambahannya. Dari kecepatan pertambahan rata-rata perhari abu gosok menunjukan proses perkecambahan yang lebih cepat.
Saran
            Sebaiknya pada praktikum priming ketika perlakuan media tanam berbeda, perlakuan yang lain dibuat sama semua (katika media 1 diberi perlakuan A, maka media yang lain juga diberi perlakuan A) hal ini akan lebih mempermudah dalam membandingkan kualitas media tanam yang baik.
                                                  
Daftar Pustaka
Balai Teknologi Perbenihan. 1998. Program Nasional Sistem Perbenihan Kehutanan. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Perkebunan.
Khan, A.A., H. Miura, J. Prasinki and S. Ilyas, (1990): Matriconditioning of Seed to Improve Emergence. Proceedings of z : Population Based Threshold Germination model. The Seed Biology Place.
Khan, A.A., J.D. Maguire, G.S. Abawi and S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of Vegetable Seeds to Improve Stand Establishmeny in Early Field Plantings. J.Amer. Soc. Hort. Sci. 117(1): 41-47.
Kuswanto, H. 1996. Dasar-Dasar Teknologi Produksi Dan Sertifikasi Benih. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Liming, S., Orecutt, DM & JG Foster. 1992. Influence of PEG & Aeration Method During Imbibition on Germination & Subsequent Seedling Growth of Flatpea (Lashyrus sylvestris). Seed Sci. & Techn. 20 : 349-357.
Roektiningroem, E. & Agustinie. 2001. Usaha Meningkatkan Performansi Benih dan Tanggapan Tanaman Padi Gogo di Lahan Kering dengan Menggunakan Teknik Priming. Laporan Penelitian.
           

Comments

  1. mas galayy..ngopy :)

    ReplyDelete
  2. mz galay... iki blogmu to... aku ndelok tinjauan pustakane ya.. heee... makasih mz... :D

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

kurikulum KTSP IPA SD/MI

Mekanisme Sorting Protein dari Sitosol ke Organel

Zonasi sungai